Love your self, Flirt with your understanding, Romance with dreams, Get engaged with simplicity, Marry genuiness, Divorce the ego...That's "Good Life..."
Terkesan sekali melihat perjalanan kehidupan beragama di negara ini, atau bahkan di dunia mana sekalipun. agama yang seharusnya berada di dalam wilayah-wilayah yang memang seharusnya dianggap "suci", tetapi kemudian berubah menjadi muram tatkala unsur ke--suciannya dinodai oleh segumpalan otak yang memakai berbagai macam logika, bahwa inilah kebenaran.
beginilah jadinya ketika nilai-nilai kesakralan di campur adukan dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi. seharusnya agama tidak ada saja, kalau agama hanya dijadikan sebagai semacam organisasi ketuhanan, yang harus menampung dan mengakomodir masing-masing jemaatnya. yang tentunya juga karena sifatnya sebagai organiasasi, sebagaimna layaknya organisasi yang sudah ada, agama menjadi saling berburu siapa yang eksis.
Semestinya jika kita berbicara yang menyangkut tentang ketuhanan, yang harus di ingat adalah perpaduannya antara logika dan rasa. bagaimana keduanya bekerja secara proporsional, sesuai dengan kebutuhannya. artinya ketika kita berbicara mengenai keagamaan, tidak bisa hanya melulu mengandalkan logika dengan dukungan dalil-dalilnya. tetapi juga apa yang dapat kita lihat, kemudian kita rasakan. dan itu terkadang memang tidak dapat diungkapkan. Kami pikir logika dan rasa inilah, yang jika sudah menerap lekat pada setiap diri para pemeluk agama apapun dengan aliran manapun, mudah-mudahan tidak lagi saling menghujat satu-sama lain. dan atas nama Allah Tuhan segala agama.
Perbedaan agama dan kepercayaan seharusnya bukan merupakan hal yang harus dibumi hanguskan seperti yang sering terjadi di Indonesia ini. Justru disitulah letak keanekaragaman manusia, disitulah kita ditantang untuk mengendalikan emosi, bersikap penuh toleransi.
Adanya segelintir orang yang merasa lebih mengenal dan memahami Tuhan sehingga merasa harus mengobrak abrik agama orang lain seperti kasus Ahmadiyah sangatlah berlebihan, justru ini menggambarkan ketakutan dan kekurangan pengetahuan mereka akan Tuhan itu sendiri. Yang patut menghakimi seseorang hanyalah Tuhan itu sendiri. Kalau memang ada perbedaan yang kurang dapat diterima, ajaklah dialog secara based on Alquran, dari hasil dialog orang dapat memilih untuk tetap, meninggalkan atau mengikuti ajaran tersebut. Dalam kondisi negara dan bangsa yang memprihatinkan seperti ini, adanya kasus Ahmadiyah semakin menenggelamkan Indonesia dalam timbunan masalah yang tak kunjung selesai.
(Kesimpulan dari makalah mata kuliah Sosiologi agama).
Modal Sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan di investasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue).
Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang besifat imbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.
Randall Collin (1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai phenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan aturan tersendiri dalam suatu masyarakat.Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk.
Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.Bank Dunia (1999) mendefinisikan Modal Sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa Modal Sosial sebagai stok dan hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleb kepercayaan (trust) kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
Konflik sosial merupakan suatu fenomena sosial politik yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Konflik ini selalu membutuhkan suatu akar sosial tertentu serta selalu diikuti oleh kelompok-kelompok yang memiliki anggota dengan karakteristik sebagai “pemeluk teguh “(True Believer) yang memperjuangkan tujuan tertentu yang dianggap sebagai “tujuan suci”. Kelompok-kelompok seperti ini biasanya didasarkan pada kriteria kesamaan tertentu, baik kesamaan suku, kesamaan kehidupan sosial ekonomi, budaya, pendidikan, agama, ras, dan sebagainya. Kelompok dengan tipe seperti ini seringkali pula diikuti oleh beberapa karakteristik lain sebagai kelompok sendiri (In-group) yang erat, yang diidentifikasi oleh anggotanya memiliki kesamaan tertentu.
Apapun sifat gerakan massa yang menjadi landasan sebuah konflik yang melibatkan kekerasan (agama, rasial, sosial, politis, atau ekonomi), semuanya mempunyai sekelompok ciri yang sama, yaitu mampu membangkitkan pada diri para pengikutnya kerelaan untuk “berkorban sampai mati”, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta, kesetiaan, serta memejamkan mata dan menutup telinga dari kebaikan orang lain. Berbagai kerusuhan seperti kerusuhan rasial di Sambas, kerusuhan antar agama di Ambon, kerusuhan buruh di Bandung Jawa Barat, kerusuhan politik pada 27 Juli di Jakarta, kerusuhan “semanggi” yang dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, konflik antar kampung di Nusa Tenggara Barat, dan banyak lagi kerusuhan lain yang juga sangat “kental” dengan karakteristik seperti itu.
Beberapa ahli tentang kelompok (Krech, Crutchfield, Ballachey : 1962; Garvin : 1987; Raven dan Rubin : 1976) menyebutkan bahwa kelompok merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh kekuatan untuk bergerak, bahkan juga gerak untuk memberontak. Selain itu, melalui kelompok erat pula seseorang akan menyalurkan rasa sakit dan penderitaannya, sehingga rasa sakit dan penderitaan tersebut tidak lagi dirasakan sebagai penderitaan pribadi. Seseorang akan memperoleh kekuatan luar biasa untuk bergerak, atau mencapai tujuan dengan “meleburkan diri” dalam kelompok erat, kelompok kental, atau kelompok sendiri, (Raven dan Rubin : 1976) sehingga ciri dan tanda yang membedakannya sebagai pribadi yang mandiri hilang dan mewujud dalam kesatuan kelompok “Ku” yang solid.
Sehubungan dengan proses-proses dalam kelompok erat inilah maka individu anggotanya memperoleh “energi” untuk berubah, bergerak, tumbuh, menampilkan peran, sekaligus juga menolak, melawan, atau juga membangkang. Kelompok sendiri ini memiliki karakteristik tertentu yang sangat erat dan memiliki semangat untuk menolak orang luar yang tidak menjadi anggota kelompok serta menganggapnya sebagai musuh yang perlu dilawan atau minimal dicurigai.
Perwujudan lebih lanjut dari kelompok sendiri, menurut Hoffer (1988) dapat digambarkan melalui ungkapan-ungkapan sederhana yang kuat seperti : Aku termasuk dalam “Keluargaku”, “Klikku”, “Kerabatku”, “Agamaku”, “Kampungku”, “Sukuku”, dan sebagainya, atau semua kelompok yang berakhir dengan kata kepunyaan “Ku”. Semua itulah yang dimaksud dengan kelompok sendiri, karena “aku” termasuk di dalamnya. Semua kelompok di mana bukan diakhiri dengan kata kepunyaan “Ku” merupakan kelompok luar, karena “Aku” berada di luarnya, kelompok seperti ini akan dipandang sebagai orang asing atau orang luar ras yang akan menempati posisi mirip sebagai “musuh”.
Kecenderungan manusia untuk melibatkan diri ke dalam suatu kelompok nampaknya secara sosial merupakan suatu dorongan dasar dari manusia itu sendiri. Jika seseorang bertemu dengan orang asing atau baru dalam suatu situasi, maka mereka seketika itu juga akan segera mencari kesamaan diantaranya (Raven dan Rubin, 1976). Mereka akan bertanya dari mana asalnya, apa tujuannya, apa dan bagaimana aliran pemikirannya, apa agamanya, dan seterusnya. Jika keduanya berasal dari satu kota yang sama, maka kesamaan itu akan diperkecil lagi menjadi kampung atau desa mana dia berasal. Jika mereka memiliki berbagai kesamaan tertentu, maka mereka akan mudah untuk bergabung dan menjalin hubungan sosial secara akrab. Sebaliknya, setelah pengumpulan data secara singkat ini, kemudian tidak ditemukan kesamaan-kesamaan, maka mereka akan menganggap orang tersebut berada di luar kelompoknya yang harus diwaspadai, dicurigai, atau minimal tidak diajak untuk bergabung dengan kelompoknya.
Kecenderungan orang untuk mencari kesamaan tertentu diantara kumpulan orang-orang mendorong orang untuk lebih mementingkan kelompoknya sendiri yang bersifat erat, tatap muka secara intens, kompak, serta mengidentifikasikan kepribadiannya kepada kelompoknya. Sebaliknya, sejalan dengan proses identifikasi terhadap kelompok erat ini, akan mengakibatkan berkurang atau menurunnya identifikasi maupun upaya untuk mengikatkan diri pada kesatuan masyarakat yang lebih luas. Meningkatnya keeratan huubungan di dalam kelompok-kelompok kecil yang dibarengi oleh berkurangnya ikatan dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih luas akan menjadi sumber panas bagi pertentangan kepentingan antar kelompok.
Durkheim (Johnson : 1988) menjelaskan hal ini dalam bahasannya tentang sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat organik. Dia mengatakan bahwa salah satu ancaman paling besar pada solidaritas organik adalah berkembangnya heterogenitas yang mengakibatkan ikatan bersama yang menyatukan suatu masyarakat luas menjadi kendur. Hal itu mendorong individu-individu mulai mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang bersifat terbatas, erat, dan memiliki solidaritas mekanik yang tinggi. Jika solidaritas pada tingkat ini (tingkat kelompok kecil yang kuat) digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas, maka kemungkinan konflik menjadi semakin besar.
Kondisi melemahnya solidaritas dan kesatuan dalam suatu masyarakat yang lebih luas serta munculnya kelompok-kelompok dengan solidaritas mekanik yang kuat inilah yang melatar belakangi berbagai macam konflik yang terjadi di Indonesia. Konflik di Ambon, Lombok Mataram, Sampit, dan sebagainya juga dilandasi oleh latar belakang sosial yang mirip dengan gejala seperti disebut di atas.
Sosiologi sebagai ilmu yang berkembang dan membutuhkan keilmuan serta fraksisnya, menjadi sebuah diskursus sosial bagi peminatnya dalam mencaribentuk ideal format disiplin ilmu ini, maka tak ayal lagi, bahwa dibutuhkan kerja – kerja lapangan dengan selalu mengikut sertakan dan diimbangi oleh pencarian dari teori – teori baru dalam khasanah keilmuannya. Dewasa ini banyak masyarakat hanya memahami bahwa disiplin ilmu Sosiologi hanya berorientasi pada kajian – kajian kesukuan dan masyarakat tradisional tanpa adanya perolehan dari teori – teori yang baru, jadi seolah – olah Sosiologi tidak pernah pindah posisi dari tempat semula
Prodi Sosiologi adalah salah satu program yang ada di Universitas Trunojoyo, yang mana penerapannya lebih banyak berhubungan langsung dengan masyarakat, dan dalam masa perkuliahan mahasiswa dituntut untuk dapat memetakan keadaan sosial dan berpikir secara sosiologi, yaitu salah satunya dengan mengadakan orientasi mahasiswa sosiologi.
Bagi mahasiswa sosiologi, masyarakat merupakan laboratorium paling lengkap yang menjadi sarana atau media untuk belajar. Masyarakat yang sederhana apabila dibandingkan dengan masyarakat yang kompleks terlihat kecil, organisasinya sederhana, sedangkan penduduknya tersebar. Kecilnya masyarakat dan belum berkembangnya masyarakat tadi, salah satunya dipicu perkembangan teknologinya yang lambat. Pengangkutan dan hubungan yang lambat, memperkecil ruang lingkup hubungan dengan masyarakat lainnya dan teknik mengerjakan tanah yang sederhana, memperkecil kemungkinan mengadakan eksploitasi.
Kepadatan penduduk sangat tipis dan berpindah-pindahnya masyarakat menyebabkan bahwa mereka mendiami wilayah yang relatif sangat luas, walaupun teknik komunikasi masih sederhana. Pengaruh tempat kediaman sangat besar. Sosialisasi dari individu-individu lebih mudah, karena hubungan yang erat antara warga masyarakat setempat yang masih sederhana. Bahkan mereka merasa bahwa masih ada ikatan keluarga diantara mereka, sehingga seringkali dijumpai larangan untuk kawin dengan anggota masyarakat setempat yang sama.
Penelitian ini adalah tentang rokat tase’ nelayan Ketapang di Desa Ketapang Barat dan Desa Ketapang Daya. Metode Penelitian menggunakan kajian sosial dengan cara kualitatif deskriptif. Perolehan data dengan observasi, wawancara mendalam dan dibantu kuesioner terbuka. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam perayaan ritual nelayan ini yang terdiri dari masyarakat pelaku, tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Rokat tase’ adalah upacara masyarakat nelayan untuk menyelamatkan nelayan dari bahaya-bahaya yang mungkin akan dihadapi ketika melaut dan dapat memberikan hasil tangkapan ikan yang banyak. Rokat tase’ ini sudah menjadi kebiasaan mereka secara turun temurun (warisan nenek moyang).
Pesta laut merupakan tradisi budaya yang umum dilakukan oleh komunitas nelayan. Pada dasarnya pesta laut berkaitan dengan perwujudan sistem religi upacara keagamaan. Tujuan pesta laut untuk mencapaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan rezeki yang telah diberikan kepada komunitas nelayan. Masyarakat nelayan pada umunya masih percaya akan mahluk-mahluk halus yang dapat mengganggu ketenangan kehidupan mereka. Kepercayaan ini dapat ditunjukkan dalam rokat yang dilakukan mereka. Tujuannya adalah untuk menolak segala macam balak dan melindungi manusia dari gangguan mahluk halus yang jahat, dan juga hasil tangkapannya semakin banyak mereka dapatkan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rokat tase’ yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Ketapang terbagi dalam tiga macam, yaitu, rokat kecil, rokat menengah, dan rokat besar. Dalam pelaksanaan rokat, individu yang memiliki peran penting adalah juragan (pemilik perahu), karena dalam segala kebutuhan rokat yang akan dilakukan, baik materi atau non materi, juraghanlah yang menyediakan, sedangkan masyarakat nelayan selain juraghan hanya menyediakan sebagian kecil saja.
Simbol-simbol yang digunakan dalam rokat ini antara lain adalah. Pengajian yang bertujuan untuk mendoakan keselamatan nelayan saat melaut. Sesajen (larung laut) sebagai keberkahan pada laut supaya laut dapat bersahabat dengan nelayan. Pengarakan sapi dan kuda untuk menarik perhatian ikan-ikan yang ada di laut supaya bermuara tidak jauh dari wilayah tangkapan nelayan Ketapang. Sedangkan penggunaan sarung dan jarik yang dijadikan seperti bendera dengan tujuan memeriahkan rokat pangkalan yang dilakukan oleh nelayan Ketapang.
Perjalanan pengurus Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos) periode 2008 – 2009 tanpa terasa telah sampai di penghujung periodesasi, tepatnya satu tahun setengah masa bakti sebagaimana teramanahkan reformasi pengurus kemaren. Segenap pikiran dan energi dalam rentan waktu tersebut telah dicurahkan untuk kita membangun eksistensi organisasi. Tentunya tidak bisa dipungkiri dalam kerja-kerja organisasi di segala dinamika senantiasa akrab dengan kendala-kendala yang ramah ataupun yang kurang ramah, yang mesti di maknai sebagai kodrat kemanusiaan biasa atau bahkan luar biasa berikut segala pencapaian prestasi dari apa yang kita rencanakan akan membuat kita dalam situasi “serba tidak puas” hanya dorongan untuk maju dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian untuk introspeksi plus dan minusnya yang telah diraih selama ini, dengan harapan memungkinkan terjadinya perbaikan-perbaikan pencapaian berikut cara mencapainya sebagaimana yang telah diedialkan dalam program kerja Program Studi.
Oleh karenanya barangkali tepat jika reformasi pengurus atau musyawarah mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Unijoyo kali ini sebagai ladang “introspeksi diri” sehingga memberikan persamaan makna bagi perjalanan organisasi kedepan. Dan itu serta tercapai mana kala kesadaran kolektif, rasionalitas imajinatif, dan kekritisan objektif kita mampu di seriuskan dalam musyawarah kali ini. Sebaliknya, musyawarah akan menemukan kehampaan yang membosankan mana kala kompetensi pemikiran di dalamnya di dominasi dan cenderung mengedepankan ketidak seriusan dan emosionalitas.
HIMASOS Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya selama kepengurusan periode 2008 – 2009 telah melakukan usaha dalam menyusun dan mereliasasikan seoptimal mungkin program kerja yang telah direncanakan. Oleh karena itu kawan-kawan akan menguji dan mengukur keseriusan dan keberhasilan kami dalam mengemban amanah organisasi selama satu tahun setengah. Tetapi kemudian tidaklah hanya cukup dengan kecerdasan mengukur dan mengevaluasi, melainkan juga kecerdasan untuk memunculkan solusi menjadi lebih penting dalam upaya memperbaiki organisasi kita ke depan. Karena masa lalu adalah masa lalu, terlepas baik dan buruk, tetapi bisa dijadikan pelajaran yang berarti untuk meraih kesuksesan di masa depan.
Dengan kondisi objektif bahwa organisasi sebagaimana lazimnya merupakan komunitas yang karena satu sama lainsadar atas kelebihan dan kelemahannya, maka masing-masing berkehendak untuk bekerja sama demi mencapai satu tujuan bersama. Di dalam mencapai tujuan tersebut ada beberapa kondisi yang selama ini selalu menjadi problem di dalam eksistensi organisasi.
Perlu kita sadari bersama adalah sistem pencairan keuangan yang kita miliki sekarang di fakultas sangatlah begitu rumit dan membosankan dengan alasan – alasan yang diberikan. Maka dari itu hal tersebut memberikan dampak pada pengurus Himasos menjadi kurang serius dalam menjalan program yang ada.
Kelemahan di bidang koordinasi di dalam tubuh kepengurusan Himasos menjadi hal penting untuk diperhatikan, baik dalam segi individu pengurus yang tidak begitu aktif dan kordinatif dalam menjalan segala program yang direncanakan. Hal tersebut nantinya akan berakibat terhadap lemahnya komunikasi antar pengurus dalam rangka peningkatan efektivitas tujuan bersama.
Namun dari sisi lain yang perlu kita tinjau adalah kelengkapan sarana dan prasana Himasos yang masih jauh dari harapan. Sekretariat yang dulu kita miliki di Fakultas Hukum, sekarang sudah tidak kita miliki lagi karena pindahnya Prodi Sosiologi ke Fisib. Begitu pula dengan fasilitas-fasilitas yang lain yang masih belum tersedia, sehingga hal tersebut menjadi penting adanya untuk menjadikan organisasi ini menjadi lebih efektif dan optimal.
Terlepas dari hal tersebut, kita telah mencoba untuk tetap berkomitmen untuk selalu merealisasikan segala program yang telah kita rencanakan, meskipun banyak kekurangan-kekurangan yang kita hadapi dan begitu adanya.