Konflik sosial merupakan suatu fenomena sosial politik yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Konflik ini selalu membutuhkan suatu akar sosial tertentu serta selalu diikuti oleh kelompok-kelompok yang memiliki anggota dengan karakteristik sebagai “pemeluk teguh “(True Believer) yang memperjuangkan tujuan tertentu yang dianggap sebagai “tujuan suci”. Kelompok-kelompok seperti ini biasanya didasarkan pada kriteria kesamaan tertentu, baik kesamaan suku, kesamaan kehidupan sosial ekonomi, budaya, pendidikan, agama, ras, dan sebagainya. Kelompok dengan tipe seperti ini seringkali pula diikuti oleh beberapa karakteristik lain sebagai kelompok sendiri (In-group) yang erat, yang diidentifikasi oleh anggotanya memiliki kesamaan tertentu.
Apapun sifat gerakan massa yang menjadi landasan sebuah konflik yang melibatkan kekerasan (agama, rasial, sosial, politis, atau ekonomi), semuanya mempunyai sekelompok ciri yang sama, yaitu mampu membangkitkan pada diri para pengikutnya kerelaan untuk “berkorban sampai mati”, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta, kesetiaan, serta memejamkan mata dan menutup telinga dari kebaikan orang lain. Berbagai kerusuhan seperti kerusuhan rasial di Sambas, kerusuhan antar agama di Ambon, kerusuhan buruh di Bandung Jawa Barat, kerusuhan politik pada 27 Juli di Jakarta, kerusuhan “semanggi” yang dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, konflik antar kampung di Nusa Tenggara Barat, dan banyak lagi kerusuhan lain yang juga sangat “kental” dengan karakteristik seperti itu.
Beberapa ahli tentang kelompok (Krech, Crutchfield, Ballachey : 1962; Garvin : 1987; Raven dan Rubin : 1976) menyebutkan bahwa kelompok merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh kekuatan untuk bergerak, bahkan juga gerak untuk memberontak. Selain itu, melalui kelompok erat pula seseorang akan menyalurkan rasa sakit dan penderitaannya, sehingga rasa sakit dan penderitaan tersebut tidak lagi dirasakan sebagai penderitaan pribadi. Seseorang akan memperoleh kekuatan luar biasa untuk bergerak, atau mencapai tujuan dengan “meleburkan diri” dalam kelompok erat, kelompok kental, atau kelompok sendiri, (Raven dan Rubin : 1976) sehingga ciri dan tanda yang membedakannya sebagai pribadi yang mandiri hilang dan mewujud dalam kesatuan kelompok “Ku” yang solid.
Sehubungan dengan proses-proses dalam kelompok erat inilah maka individu anggotanya memperoleh “energi” untuk berubah, bergerak, tumbuh, menampilkan peran, sekaligus juga menolak, melawan, atau juga membangkang. Kelompok sendiri ini memiliki karakteristik tertentu yang sangat erat dan memiliki semangat untuk menolak orang luar yang tidak menjadi anggota kelompok serta menganggapnya sebagai musuh yang perlu dilawan atau minimal dicurigai.
Perwujudan lebih lanjut dari kelompok sendiri, menurut Hoffer (1988) dapat digambarkan melalui ungkapan-ungkapan sederhana yang kuat seperti : Aku termasuk dalam “Keluargaku”, “Klikku”, “Kerabatku”, “Agamaku”, “Kampungku”, “Sukuku”, dan sebagainya, atau semua kelompok yang berakhir dengan kata kepunyaan “Ku”. Semua itulah yang dimaksud dengan kelompok sendiri, karena “aku” termasuk di dalamnya. Semua kelompok di mana bukan diakhiri dengan kata kepunyaan “Ku” merupakan kelompok luar, karena “Aku” berada di luarnya, kelompok seperti ini akan dipandang sebagai orang asing atau orang luar ras yang akan menempati posisi mirip sebagai “musuh”.
Kecenderungan manusia untuk melibatkan diri ke dalam suatu kelompok nampaknya secara sosial merupakan suatu dorongan dasar dari manusia itu sendiri. Jika seseorang bertemu dengan orang asing atau baru dalam suatu situasi, maka mereka seketika itu juga akan segera mencari kesamaan diantaranya (Raven dan Rubin, 1976). Mereka akan bertanya dari mana asalnya, apa tujuannya, apa dan bagaimana aliran pemikirannya, apa agamanya, dan seterusnya. Jika keduanya berasal dari satu
Kecenderungan orang untuk mencari kesamaan tertentu diantara kumpulan orang-orang mendorong orang untuk lebih mementingkan kelompoknya sendiri yang bersifat erat, tatap muka secara intens, kompak, serta mengidentifikasikan kepribadiannya kepada kelompoknya. Sebaliknya, sejalan dengan proses identifikasi terhadap kelompok erat ini, akan mengakibatkan berkurang atau menurunnya identifikasi maupun upaya untuk mengikatkan diri pada kesatuan masyarakat yang lebih luas. Meningkatnya keeratan huubungan di dalam kelompok-kelompok kecil yang dibarengi oleh berkurangnya ikatan dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih luas akan menjadi sumber panas bagi pertentangan kepentingan antar kelompok.
Durkheim (Johnson : 1988) menjelaskan hal ini dalam bahasannya tentang sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat organik. Dia mengatakan bahwa salah satu ancaman paling besar pada solidaritas organik adalah berkembangnya heterogenitas yang mengakibatkan ikatan bersama yang menyatukan suatu masyarakat luas menjadi kendur. Hal itu mendorong individu-individu mulai mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang bersifat terbatas, erat, dan memiliki solidaritas mekanik yang tinggi. Jika solidaritas pada tingkat ini (tingkat kelompok kecil yang kuat) digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas, maka kemungkinan konflik menjadi semakin besar.
Kondisi melemahnya solidaritas dan kesatuan dalam suatu masyarakat yang lebih luas serta munculnya kelompok-kelompok dengan solidaritas mekanik yang kuat inilah yang melatar belakangi berbagai macam konflik yang terjadi di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar